Friday, 4 December 2015

Hujan klasik yang romantis

Mengingat kenangan beberapa tahun yang lalu mungkin sekitar 4 sampai 5 tahunan, ketika aku masih kuliah. Waktu itu aku sedang pulang kampung, hari libur panjang, setelah selesai ujian akhir semester. Aku lupa tepatnya semester berapa. Aku seneng banget ketika libur panjang, aku habiskan waktu di rumah, di Jember, lebih tepatnya di desa Andongsari, Ambulu. Di sela - sela waktu kuliah di Universitas Airlangga Surabaya, aku selalu merindukan suasana kampung halaman, rindu berkumpul dengan orang - orang di desa.
Menyenangkan tinggal lama di Surabaya, berkumpul dengan orang - orang baru, hidup dengan suasana yang jauh berbeda, lingkungan yang ramai 24 jam. Sangat berbeda dengan desa yang sepi setelah jam 10 malam. Ketika kuliah masih belum mendekati ujian, aku masih biasa - biasa aja, tapi kalo sudah menjelang ujian, rasa rindu untuk pulang langsung numbuh. Seperti biasa aku langsung pulang satu hari setelah hari terakhir ujian atau kadang hari itu juga. Sebenernya ngga terlalu pengen cepet - cepet banget pulang, tapi anak - anak mahasiswa yang kebanyakan dari kota lain juga pada pulang, jadinya ngga enak juga kalo kelamaan di kost, sepi.

Singkat cerita aku pulang naik bis, biasa sampe rumah malam jam 11 atau 12. Mandi air hangat, langsung flu kalo mandi air dingin, mengalami perubahan suhu yang ekstrim. Ketika itu musim ujan, jadi sering banget turun ujan, dan tidak jarang disertai padam listrik, udah biasa kalo di desa. Sedikit banget kegiatanku di rumah, makan, tidur, main jarang - jarang.
Lalu di suatu malam, seingetku sehabis isya', ujan turun gede banget. Tapi untungnya, ngga ada rencana mau kemana - mana. Aku kurang inget suasana rumah, tapi ngga tau kenapa aku memutuskan untuk duduk di kursi kayu di serambi rumah sendirian. Aku liat rumah - rumah tetangga pada sepi, ngga ada orang yang berada di teras rumah. Aku memberanikan diri untuk duduk diam diluar, bukan karena sepi tapi karena banyak juga kilatan cahaya yang diikuti oleh suara petir. Ditengah turunnya hujan dan suara petir, aku merasa sangat menikmati suasana hujan itu, aku merasakan kedamaian yang tak ternilai, aku merasakan ketenangan ditengah ramainya suara hujan dan petir. Sambil agak merasa takut, karena pernah mendengar cerita kalo ada orang yang mati disambar petir meski berada di dalam rumah.
Memikirkan tentang petir, aku jadi ingat dengan beberapa pernyataan tentang petir. Kalo dari fisika, pasti yang paling terkenal adalah kilat akan lebih dulu dilihat mata dari pada mendengar suara petir, dikarenakan kecepatan cahaya yang jauh lebih cepat daripada kcepatan bunyi. Kalo dari sisi bercandaan, dikarenakan mata kita berada lebih depan dari telinga kita, sehingga kita lebih dulu melihat dari pada mendengar..hehehe. Setelah sempat tersenyum sendiri karena teringat hal yang lucu itu, aku kembali berpikir tentang sumber petir. Meskipun kilat dan suara datang dengan perbedaan waktu, tapi yang jelas dua gelombang itu berasal dari sumber yang sama. Jika berasal dari satu sumber berarti jarak yang ditempuh kedua gelombang itu juga sama. Lalu, jika dengan jarak yang sama tapi membutuhkan waktu yang berbeda untuk sampai ke tujuan, maka aku bisa menghitung jarak sumber petir dari indera ku, dengan memanfaatkan selisih waktunya.











Ada yang menarik dari persamaan itu adalah semakin besar delta t atau selisih waktu antara cahaya dan suara maka semakin jauh jarak sumber dari kita, dan semakin kecil selisihnya maka semakin dekat sumber petir dengan kita. Yang jelas, jika kita masih bisa menghitung jarak petir maka jarak itu masih relatif jauh. Kalo tidak, mungkin giliran malaikat yang menghitung semua amal perbuatanmu..hehe.

0 comments:

Post a Comment